Ada hal yang menarik untuk ingin saya coba tuliskan dalam tulisan ini, berawal dari melihat koleksi buku saya, kemudian tergerak untuk berbagi tulisan walaupun masih begitu banyak kekurangan.
Terkait dengann wacana keislaman yang tiada habis kita bahas. Dalam kesejarahan Islam, seringkali Islam disebarkan dengan jalan damai. Sehingga Islam bisa diterima oleh umat manusia di seluruh dunia sampai saat ini.
Begitupula yang terjadi di pulauJawa, agama Islam yang disebarkan oleh para kekasih Allah (auliya') atau yang lebih dikenal dengan sebutan wali songo. Mereka menyebarkan Islam di pulau Jawa dengan begitu hebatnya. Mereka tidak anti budaya mereka justru malah menjadi motor penggerak dinamisnya pengaruh Islam yang mereka bawa di Jawa. Tidak ada sejarah yang menjelaskan benturan mereka dengan penganut budaya waktu itu. Justru mereka malah membuat akulturasi dan afiliasi budaya lokal waktu itu dengan nilai-nilai keislaman.
Tapi akhir-akhir ini Islam seakan ditampilkan begitu jelasnya. Membid'ahh-bid'ahkan kelompok lain yang tidak sefaham dan mengkafir-kafirkan kelompok lain yang ajarannya tidak sesuai dengan apa yang sudah mereka terima.
Robert N. Billah sebagaimana disebutkan dalam sosiologi Islam elaborasi pemikiran Ibnu khaldun, mengatakan mengatakan bahwa doktrin - doktrin yang mapan yang jelas-jelas tercipta akibat kejahilan dan daya tipu yang sengaja dilakukan oleh para imam (Priest) untuk melayani kepentingan diri mereka sendiri serta para penguasa lalim yang seringkali menjadi tuan merek.
Dari pendapat Billah ini bahwa Islam bila dibawa ke dalam ranah kepentingan pribadi atau kelompok akan menyebabkan terjadinya chaos. Sebagaimana saat ini ketika begitu canggihnya teknologi digital, disosialisasikan media (sosmed) seharusnya jadi ajangpembumian Islam, sebagai wadah untuk meluaskan jejaring. Justru malah menjadi hal yang negatif. Seringkali kita temui kata-kata hujatan kafir dan kafir oleh mereka yang tergabung dalam gerbong Islam fundamentalis. Seharusnya Islam sebagai agama yang Rahmatan Lil 'alaminn perlu kita dengung-dengungkan dibelahan dunia bahwa Islam datang membawa kesejukan bukan permusuhan.
KARYA CIPTA
Minggu, 13 November 2016
Kamis, 02 Juli 2015
Makalah: Psikologi Pendidikan Islam
MAKALAH
KONSEP PSIKOLOGI PENDIDIKAN
ISLAM
Tugas ini disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah "Psikologi Pendidikan
Islam"
Dosen Pembimbing ;
Prof. Dr. IMAM MALIK, M.Ag.
AHMAD ARIFUL
MUSTAQIM
NIM.3241084005
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) TULUNGAGUNG
Nopember
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Psikologi pendidikan adalah studi yang sistematis
terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan. Sedangkan
pendidikan adalah proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan
belajar. Dari batasan di atas terlihat adanya kaitan yang sangat kuat antara
psikologi pendidikan dengan tindakan belajar. Karena itu, tidak mengherankan
apabila beberapa ahli psikologi pendidikan menyebutkan bahwa lapangan utama
studi psikologi pendidikan adalah soal belajar. Dengan kata lain, psikologi
pendidikan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang berkenaan dengan
proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan belajar.
Karena konsentrasinya pada persoalan belajar,
yakni persoalan-persoalan yang senantiasa melekat pada subjek didik, maka
konsumen utama psikologi pendidikan ini pada umumnya adalah pada pendidik.
Mereka memang dituntut untuk menguasai bidang ilmu ini agar mereka, dalam
menjalankan fungsinya, dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memiliki daya
dorong yang besar terhadap berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara
efektif.
Dalam pembahasan makalah ini, lebih menekankan
pembahasan tentang psikologi pendidikan dalam perspektif Islam sesuai dengan
judul makalah yang sedang saya bahas " Konsep Psikologi Pendidikan
Islam".
B. Rumusan Masalah
- Apakah Pengertian Psikologi Pendidikan Islam ?
- Bagaimanakah Fondasi Psikologi Islami ?
- Bagaimanakah Fungsi Psikologi Dalam Dunia Pendidikan ?
- Bagaimanakah Aktualisasi Psikologi Islami dalam Pendidikan Islam ?
C. Tujuan Pembahasan
- Untuk mengetahui tentang pengertian Psikologi
Pendidikan Islam
- Untuk mengetahui tentang bagaimana fondasi Psikologi Islami
- Untuk mengetahui tentang Fungsi Psikologi Dalam Dunia Pendidikan
- Untuk mengetahui tentang Aktualisasi Psikologi Islami dalam
Pendidikan Islam
BAB II
PMBAHASAN
1. Pengertian Psikologi Pendidikan Islam
Istilah
psikologi berasal dari bahasa Inggris psychology. Namun kata ini
sebenarna berasal dari Bahasa Yunani psyche dan logos. Psyche berartti
jiwa, sedangkan logos berarti mengetahui atau ilmu. Jadi secara etimologis,
psikologi dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang jiwa atau disingkat
dengan ilmu jiwa.
Terdapat
banyak penafsiran tentang psikologi ini. Sebagaimana yang dirumuskan oleh para
ahli psikologi yang menjelaskan psikologi secara umum seperti di bawah ini :
1.
Criyn, menyebutkan
psikologi ialah ilmu pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa jiwa.
2.
Prof. A. Ghozali, M.A.
menyebutkan psikologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari penghayatan dan
tingkah laku manusia.
3.
Kuypere, menyebutkan
psikologi ialah ilmu pengetahuan tentang fungsi-fungsi jiwa.
4.
J. Lischoten, mengatakan
psikologi ialah ilmu yang mempelajari tentang bentuk umum dari cara bergaulnya
pribadi dengan benda/orang, yang ada dalam situasi pergaulan.
5.
Drs. Marsam berpendapat psikologi
ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari dan menghayati tingkah laku manusia,
yang merupakan perwujudan dari aktifitas potensi jiwa, sebagai reaksi pengaruh
lingkungan.
Sehingga dari berbagai pandangan tadi dapat
diketahui bahwa makna psikologi ialah ilmu yang berusaha mengungkap,
mempelajari, membina dan membimbing poensi-potensi yang ada pada manusia baik
yang bersumber dari hereditas (fitrah) maupun dari hasil reaksi akibat pengaruh
lingkungan.
Sedangkan dalam pandangan Islam istilah jiwa
dikenal dengan istilah nafs (jiwa), qalb (hati), roh dan aql (akal).
Keempat nama tersebut dijelaskan dalam al-Qur'an sebagaimana contoh-contoh
berikut :
1.
Kata nafs, dalam surat al-Baqarah : 48
terdapat kata (نفس عن نفس) menunjukkan dzat dalam keseluruhan tubuh manusia. Di dalamnya
lebih menekankan unsur pengaruh dan akifitas biologis daripada unsur berfikir.
Disini al-nafs juga dapat dimaknai sebagai subtansi yang berdiri sendiri,
bersifat immateri, subyek yang mengetahui dan tidak terbagi-bagi.
2. Kata roh dalam surat As-Sajdah : 9
terdapat kata (زوجه) digunakan
sebagai arti pemberian hidup, dan arti al-Quran dalam surat Asy-Syuura : 52
pada kata زوجا
juga menunjukkan arti wahyu dan malaikat/Jibril pembawanya, seperi dalam surat
Mukmin :15, pada kata (الروح) Jibril/ Malaikat, dan S. An-Nahl : 102 pada kata روح
القدوس) )
3.
Kata qalb selalu
digunakan yang berkaitan dengan emosi dan akal manusia, teapi tidak menunjukkan
penggerak naluri atau biologis dan tetap terbatas pada bagian yang disadari.
Seperti dalam Surat A-Hujurat: 7 pada kata (قلوبكم ) hatimu.
4.
Kata aql dalam beberapa
ayat menunjukkan unsur pemikiran manusia, seperti S. Al-Anfal : 22 pada kata (لا
يعقلون) apakah kamu tidak
berfikir.
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang
dibekali dengan berbagai potensi fitrah yang tidak dimiliki makhluk lainnya.
Potensi istimewa ini dimaksudkan agar manusia dapat mengemban dua tugas utama,
yaitu sebagai khalifatullah di muka bumi dan juga abdi Allah
untuk beribadah kepada-Nya.
Pendidikan Islam
Menurut Juhn Dewey, pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna
pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau
pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja
dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang
belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.
“Pendidikan” dalam Islam
lebih banyak dikenal dengan menggunakan istilah al-tarbiyah,
al-ta`lim, al-ta`dib dan al-riyadah.” Setiap terminologi tersebut
mempunyai makna yang berbeda satu sama lain, karena perbedaan teks dan kontek
kalimatnya.
Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya
sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang
secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam
mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang
bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental, dan sosial sedangkan
pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau
lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup,
atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak, yang kedua
pengertian ini harus bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam
yang bersumber dari al Qur’an dan Sunnah (Hadist).
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa
pendidikan Islam adalah usaha maksimal untuk menentukan kepribadian anak didik
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam al-Qur`an dan Sunnah.
Usaha tersebut senantiasa harus dilakukan melalui bimbingan, asuhan dan
didikan, dan sekaligus pengembangan potensi manusia untuk meningkatkan kualitas
intelektual dan moral yang berpedoman pada syariat Islam.
Manusia dengan berbagai potensi tersebut membutuhkan suatu proses
pendidikan, sehingga apa yang akan diembannya dapat terwujud. Pendidikan Islam
bertujuan untuk mewujudkan manusia yang berkepribadian muslim baik secara lahir
maupun batin, mampu mengabdikan segala amal perbuatannya untuk mencari
keridhaan Allah SWT. Dengan demikian, hakikat cita-cita pendidikan Islam adalah
melahirkan manusia-manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan, satu sama lain
saling menunjang.
Psikologi pendidikan dapat diartikan sebagai salah satu cabang psikologi
yang secara khusus mengkaji perilaku individu dalam konteks situasi pendidikan
dengan tujuan untuk menemukan berbagai fakta, generalisasi dan teori-teori
psikologi berkaitan dengan pendidikan, yang diperoleh melalui metode ilmiah
tertentu, dalam rangka pencapaian efektivitas proses pendidikan.
Pendidikan memang tidak bisa dilepaskan dari psikologi. Sumbangsih
psikologi terhadap pendidikan sangatlah besar. Kegiatan pendidikan, khususnya
pada pendidikan formal, seperti pengembangan kurikulum, Proses Belajar Mengajar,
sistem evaluasi, dan layanan Bimbingan dan Konseling merupakan beberapa
kegiatan utama dalam pendidikan yang di dalamnya tidak bisa dilepaskan dari
psikologi.
Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang di dalamnya melibatkan banyak
orang, diantaranya peserta didik, pendidik, adminsitrator, masyarakat dan orang
tua peserta didik. Oleh karena itu, agar tujuan pendidikan dapat tercapai
secara efektif dan efisien, maka setiap orang yang terlibat dalam pendidikan
tersebut seyogyanya dapat memahami tentang perilaku individu sekaligus dapat
menunjukkan perilakunya secara efektif.
Arthur S. Reber menerangkan bahwa Psikologi pendidikan adalah
sebuah subdisiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori dan masalah
kependidikan yang berguna dalam hal-hal sebagai berikut :
1.
Penerapan
prinsip-prinsip belajar dalam kelas
2.
Pengembangan
dan pembaharuan kurikulum
3.
Ujian dan
evaluasi bakat dan kemampuan
4.
Sosialisasi
proses-proses dan interaksi proses-proses tersebut dengan pendayagunaan ranah
kognitif
5.
Penyenggaraan
pendidikan keguruan
Pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat
dengan psikologi. Pendidikan merupakan suatu proses panjang untuk mengaktualkan
seluruh potensi diri manusia sehingga potensi kemanusiaannya menjadi aktual.
Dalam proses mengaktualisasi diri tersebut diperlukan pengetahuan tentang
keberadaan potensi, situasi dan kondisi lingkungan yang tepat untuk
mengaktualisasikannya. Pengetahuan tentang diri manusia dengan segenap
permasalahannya akan dibicarakan dalam psikologi umum. Dalam hal pendidikan
Islam yang dibutuhkan psikologi Islami, karena manusia memiliki potensi luhur,
yaitu fitrah dan ruh yang tidak terjamah dalam psikologi umum
(Barat).
Berdasarkan uraian diatas, maka sudah selayaknya dalam pendidikan Islam
memiliki landasan psikologis yang berwawasan kepada Islam, dalam hal ini
dengan berpandu kepada al-Quran dan hadits sebagai sumbernya, sehingga
akhir dari tujuan pendidikan Islam dapat terwujud dan menciptakan insan
kamil bahagia di dunia dan akhirat. Sebenarnya, banyak sekali istilah untuk
menyebutkan psikologi yang berwawasan kepada Islam. Diantara para psikolog ada
yang menyebut dengan istilah psikologi Islam, psikologi al-Qur’an,
psikologi Qur’ani, psikologi sufi dan nafsiologi. Namun pada dasarnya semua
istilah tersebut memiliki makna yang sama.
B. Fondasi Psikologi Islami
Dalam Al-Quran, ada beberapa kata kunci yang
berbicara mengenai psikologi yaitu al-nafs, al-qalb, al-aql, al-ruh, seperti
yang sudah dijelaskan di atas. Dari analisa terhadap kosa kata tersebut, secara
metode tafsir maudhu’i atau tematik akan diformulasikan sejumlah
konsep-konsep psikologi dari Al-Quran, selanjutnya digunakan sebagai dasar
untuk menyusun paradigma teori psikologi Islami.
Psikologi Islam merupakan sebuah aliran baru dalam
dunia psikologi yang mendasarkan seluruh bangunan teori-teori dan
konsep-konsepnya kepada Islam. Islam sebagai subjek dan objek kajian dalam ilmu
pengetahuan, harus dibedakan kepada tiga bentuk: Islam sebagai ajaran, Islam
sebagai pemahaman dan pemikiran serta Islam sebagai praktek atau pengamalan. Islam
sebagai ajaran bersifat universal dan berlaku pada semua tempat dan waktu,
bersifat absolut dan memiliki kebenaran normatif, yaitu benar berdasarkan
pemeluk agama tersebut, sehingga bebas ruang dan waktu. Islam sebagai pemahaman
dan praktek, selalu berhubungan dengan ruang dan waktu, sehingga bersifat
partikular, lokal dan temporal. Dan itu semua adalah fondasi awal untuk
melakukan gagasan aktulisasi psikologi Islami. Dalam kontek Aceh paska
pengesahan RUU-PA, kita berharap supaya qanun-qanun tentang pendidikan secara
umum dapat memuat rincian ketiga hal tersebut, karena itu adalah ruh dari
psikolongi pendidikan kita kedepan post conflict and post tsunami.
C. Fungsi Psikologi Dalam Dunia Pendidikan
Psikologi
merupakan suatu cabang ilmu yang memberikan kontribusi banyak dalam dunia
pendidikan. Dimana bagi pendidik, pengetahuan tentang psikologi yang dimiliki akan membantu
dalam menghadapi anak didiknya. Hal ini disebabkan pada diri anak didik ada keefektifan – keefektifan jiwa yang dapat
diperhalus atau diperkuat melalui pendidikan atau latihan – latihan yang
sistematis dan kontinue.
Disini para pendidik, khususnya para guru sekolah, sangat diharapkan
memiliki pengetahuan psikologi pendidikan yang sangat memadahi agar dapat
mendidik para siswa melalui proses belajar mengajar yang berdaya guna dan
berhasil guna. Pengetahuan menganahi psikologi pendidikan bagi para guru
berperan penting dalam penyelenggarakan pendidikan di sekolah-sekolah.
Misalnya, dengan
memberikan alat-alat bermain bagi anak-anak yang belum masuk sekolah, berarti kita telah memberikan
kesempatan bagi pertumbuhan jiwa anak seperti ingatan, fantasi, berfikir, dan sebagainya.
Hal ini merupakan upaya untuk membantu pertumbuhan suatu fungsi dalam jiwa
anak.
Dengan mempelajari psikologi, pendidik dapat mengetahui bahwa masa peka
pada anak-anak terjadi sekiar umur 3-4 tahun, sedang untuk belajar berhitung
terjadi sekitar umur 5-6 tahun. Dengan demikian pada umur-umur tersebut (orang
tua) dirumah dapat memberikan latihan pendahuluan sebelum si anak masuk
sekolah. Disamping itu si anak juga harus diberikan pendidikan kehendak, agar
tindakan si anak sesuai dengan norma-norma yang ada.
Jiwa anak memang
berbeda dengan jiwa orang dewasa, karena itu cara mendidiknya pun tidak sama
dengan mendidik orang dewasa. Lebih-lebih disaat pertumbuhan anak menuju
tingkat dewasa, pendidik harus menyesuaikan pola penddidikannya dengan karakter
yang dimiliki anak. Disinilah pentingnya psikologi pendidikan. Dengan memiliki
pengetahuan tentang psikologi pendidikan anak, maka para pendidikpun akan dapat
menepikan kesalahan-kesalahan dalam proses pendidikan dan pertumbuhan anak
menuju dewasa.
D. Aktualisasi Psikologi Islami dalam
Pendidikan Islam
Manusia merupakan makhluk pilihan Allah yang mengembangkan tugas ganda,
yaitu sebagai khalifah Allah dan Abdullah (Abdi Allah).
Untuk mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia dibekali dengan sejumlah
potensi didalam dirinya. Hasan
Langgulung mengatakan, potensi-potensi tersebut berupa ruh, nafs, akal,
qalb, dan fitrah. Sejalan dengan itu, Zakiyah Darajat mengatakan, bahwa
potensi dasar tersebut berupa jasmani, rohani, dan fitrah namun ada juga yang
menyebutnya dengan jismiah, nafsiah dan ruhaniah.
1. Aspek jismiah
2. Aspek nafsiah
Aspek nafsiah
adalah keseluruhan kualitas insaniah yang khas dimiliki dari manusia berupa
pikiran, perasaan dan kemauan serta kebebasan. Dalam aspek nafsiah ini
terdapat tiga dimensi psikis, yaitu dimensi nafsu, ‘aql, dan qalb.
- Dimensi
nafsu merupakan dimensi yang memiliki sifat-sifat kebinatangan dalam sistem
psikis manusia, namun dapat diarahkan kepada kemanusiaan setelah
mendapatkan pengaruh dari dimensi lainnya, seperti ‘aql dan qalb,
ruh dan fitrah. Nafsu adalah daya-daya psikis yang memiliki dua kekuatan
ganda, yaitu: daya yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari segala
yang membahayakan dan mencelakakan (daya al-ghadabiyah) Serta daya
yang berpotensi untuk mengejar segala yang menyenangkan (daya al-syahwaniyyah).
- Dimensi
akal adalah dimensi psikis manusia yang berada diantara dua dimensi lainnya
yang saling berbeda dan berlawanan, yaitu dimensi nafsu dan qalb.
Nafsu memiliki sifat kebinatangan dan qalb memiliki sifat dasar
kemanusiaan dan berdaya cita-rasa. Akal menjadi perantara diantara keduanya.
Dimensi ini memiliki peranan penting berupa fungsi pikiran yang merupakan
kualitas insaniah pada diri manusia.
- Dimensi
qalb memiliki fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta seperti
berpikir, memahami, mengetahui, memperhatikan, mengingat dan melupakan.
Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa seperti tenang, sayang dan fungsi
konasi yang menimbulkan daya karsa seperti berusaha.
3. Aspek ruhaniah
Aspek
ruhiyah adalah keseluruhan potensi luhur (high potention) diri manusia.
Potensi luhur itu memancar dari dimensi ruh dan fitrah. Kedua dimensi ini merupakan potensi diri manusia
yang bersumber dari Allah. Aspek ruhaniyah bersifat spiritual dan transedental.
Spiritual, karena ia merupakan potensi luhur batin manusia yang merupakan sifat
dasar dalam diri manusia yang berasal dari ruh ciptaan Allah. Bersifat transidental, karena mengatur
hubungan manusia dengan yang Maha transenden yaitu Allah. Fungsi ini muncul
dari dimensi fitrah.
Dari penjabaran
diatas, dapat disebutkan bahwa aspek jismiah bersifat empiris, konkrit,
indrawi, mekanistik dan determenistik. Aspek ruhaniah bersifat
spiritual, transeden, suci, bebas, tidak terikat pada hukum dan prinsip alam
dan cenderung kepada kebaikan. Aspek nafsiah berada diantara keduanya
dan berusaha mewadahi kepentingan yang berbeda.
Pada hakikatnya,
proses pendidikan merupakan proses aktualisasi potensi diri manusia. Sistem
proses menumbuhkembangkan potensi diri itu telah ditawarkan secara sempurna
dalam sistem ajaran Islam, ini yang pada akhirnya menyebabkan manusia dapat
menjalankan tugas yang telah dibebankan Allah.
Pengaktualan
potensi diri manusia tersebut dapat diarahkan melalui konsep pembinaan “kecerdasan
emosional dan spiritual”. Ary Ginanjar Agustian telah menulis buku tentang
ini dengan judul “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual
ESQ Emosional Spiritual Questiont Berdasarkan Enam Rukun Iman dan Lima Rukun
Islam”. Dalam buku tersebut menjelaskan bahwa rukun iman dan rukun Islam
adalah sistem pembinaan kecerdasan emosional dan spiritual:
Adapun rukun iman dan rukun Islam, disamping
sebagai petunjuk ritual bagi umat Islam, ternyata pokok pikiran dalam rukun
iman dan rukun Islam tersebut juga dapat memberikan bimbingan untuk mengenal
dan memahami perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi diri,
mengelola emosi dalam berhubungan dengan orang lain. Hal inilah yang mendasari
pemikiran saya untuk menjelaskan bahwa rukun iman dan rukun Islam adalah suatu
metode membangun emotional quetiont (EQ) yang didasari oleh hubungan
manusia dengan Tuhannya, spiritual quetiont (SQ) sehingga saya
menamakannya dengan emotional dan spiritual quetiont (ESQ).
Rukun Islam
merupakan metode pengasahan dan pelatihan ESQ. Syahadat berfungsi sebagai “mission
statement”, puasa sebagai “self controlling”, serta zakat dan haji
sebagai peningkatan “social intelligence” atau kecerdasan sosial. Islam
menuntut penganutnya agar senantiasa melaksanakan rukun Islam secara konsisten
dan kontinu. Ini merupakan bentuk training sepanjang hidup manusia. Disinilah
pembentukan dan pembinaan kecerdasan emosional dan spiritual yang sempurna.
Para ahli
psikologi mengatakan bahwa tingkat perkembangan intelligence Quetiont (IQ)
berbeda dengan perkembangan emotional dan spiritual quetiont (ESQ). Tingkat
kecerdasan IQ relatif tetap, sedangkan kecerdasan ESQ dapat meningkat sepanjang
hidup manusia. Struktur susunan rukun iman dan rukun Islam merupakan susunan
anak tangga yang teratur secara sistematis, logis dan objektif dalam
pembentukan ESQ. Rukun iman berfungsi membentuk struktur fundamental mental
berupa: prinsip landasan mental, prinsip kepercayaan, prinsip kepemimpinan,
prinsip pembelajaran, prinsip masa depan hingga prinsip keteraturan.
Daniel
Goleman, seorang profesor dari
Universitas Harvard menjelaskan bahwa ada ukuran/patokan lain yang menentukan
tingkat kesuksesan seseorang. Dalam bukunya yang terkenal, Emotional
Intelligence, membuktikan bahwa tingkat emosional manusia lebih mampu
memperlihatkan kesuksesan seseorang.
Intelligence
Quotient (IQ) tidak dapat berkembang. Jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ
sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun berkurang. Artinya, jika
seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup, percuma saja
dia mencoba dengan segala cara untuk mendapatkan IQ yang superior (jenius),
begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient(EQ) dapat dikembangkan
seumur hidup dengan belajar.
Kecerdasan
Emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga
meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, dan
contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya. Kecerdasan
Emosi menyangkut banyak aspek penting, yang agaknya semakin sulit didapatkan
pada manusia modern, yaitu:
·
empati (memahami orang lain secara mendalam)
·
mengungkapkan dan memahami perasaan
·
mengendalikan amarah
·
kemandirian
·
kemampuan menyesuaikan diri
·
disukai
·
kemampuan memecahkan masalah antar pribadi ketekunan
·
kesetiakawanan
·
keramahan
·
sikap hormat
Orang
tua adalah seseorang yang pertama kali harus mengajarkan kecerdasan emosi
kepada anaknya dengan memberikan teladan dan contoh yang baik. Agar anak
memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, orang tua harus mengajar anaknya untuk :
·
membina hubungan persahabatan yang hangat dan harmonis
·
bekerja dalam kelompok secara harmonis
·
berbicara dan mendengarkan secara efektif
·
mencapai prestasi yang lebih tinggi sesuai aturan yang ada
(sportif)
·
mengatasi masalah dengan teman yang nakal
·
berempati pada sesama
·
memecahkan masalah
·
mengatasi konflik
·
membangkitkan rasa humor
·
memotivasi diri bila menghadapi saat-saat yang sulit
·
menghadapi situasi yang sulit dengan percaya diri
·
menjalin keakraban
Jika seseorang memiliki IQ yang tinggi, ditambah dengan EQ yang
tinggi pula, orang tersebut akan lebih mampu menguasai keadaan, dan merebut
setiap peluang yang ada tanpa membuat masalah yang baru.
Setelah mental
terbentuk, dilanjutkan dengan langkah-langkah pembentukan “mission
statement” melalui dua kalimat syahadat, kemudian pembangunan karakter
melalui shalat lima waktu sehari semalam, pengendalian diri melalui puasa.
Kemudian pembentukan kecerdasan sosial melalui zakat dan haji. Semua itu
merupakan struktur sistem pembinaan dengan strategi dan metode training yang
ideal.
Pembinaan
kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual secara komprehensif melalui
rukun iman dan rukun Islam adalah proses pengaktualisasian potensi diri manusia
secara totalitas. Potensi luhur diri manusia yang bersumber dan ruh dan fitrah
Allah, inilah inti ibadah. Pengaktualisasian
potensi ruh mewujudkan fungsi khalifah dan aktualisasi potensi fitrah
mewujudkan fungsi ibadah. Dimana aktivitas pendidikan hamba Allah tetap akan
menjadi ibadah, bukan malah sebaliknya menjadi aktivitas yang jauh dari
nilai-nilai relegiusitas. Bukan kah kita hidup tanpa nilai-nilai relegiusitas terasa hambar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Psikologi
pendidikan Islam dapat kita ketahui secara definitif ialah ilmu yang
mempelajari tentang jiwa yang mana keberadaannya tidak bisa lepas dalam
nilai-nilai Islam itu sendiri. Dalam pembahasan ini psikologi diarikan sebagai
al-nafs.
Psikologi Pendidikan
Islam merupakan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam al-Qur`an dan
Sunnah. Usaha tersebut senantiasa harus dilakukan melalui bimbingan, asuhan dan
didikan, dan sekaligus pengembangan potensi manusia untuk meningkatkan kualitas
intelektual dan moral yang berpedoman pada syariat Islam.
Para
pendidik harus memiliki kompetensi keilmuan psikologi pendidikan ini dalam
proses belajar mengajar yang dia terapkan. Karena dengan penguasaan melalui
psikologi pendidikan ini dia akan lebih mudah memahami karakter murid-muridnya,
untuk lebih mandapatkan hasil yang maksimal. Karena dalam kelas gurulah yang
sering berhadapan dengan anak didiknya.
Kemudian
dalam pengaktualisasian psikologi
pendidikan ini, manusia dibekali dengan sejumlah potensi di dalam dirinya. Potensi yang diberikan Allah yang
diberikan kepada setiap manusia. Potensi-potensi tersebut berupa ruh, nafs,
akal, qalb, dan fitrah
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar, “Rahasia
Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emosional Spiritual
Questiont Berdasarkan Enam Rukun Iman dan Lima Rukun Islam”. Jakarta : PT.
Arga Wijaya Persada, 2001.
Baharuddin, Psikologi Pendidikan
Refleksi Teoritis Terhadap Fenomena, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Http://www.acehinstitute.org/opini_zahrila_aktualisi_pendidikan_islam.htm
Http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/02/psikologi-pendidikan-dan-guru/
Http://alhafizh84.wordpress.com/2009/12/20/pengertian-psikologi-pendidikan/
Http://www.khairulumam.co.cc/?p=67" \o
"Permanent Link to Psikologi Pendidikan
Http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2009/01/16/pendidikan-islam/
Http://www.angelfire.com/mt/matrixs/psikologi.htm#Inteligensi%20dan%20IQ
Malik,
Imam, Psikologi Umum, Tulungagung: STAIN Tulungagung, 2004.
Malik, Imam, Tazkiya al-Nafs
(Sebuah Penyucian Jiwa, Surabaya: eLKAF, 2005
Romlah, Psikologi Pendidikan
Kajian Teoritis dan Aplikatif, Malang: UMM Press, 2001
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2005
Selasa, 30 Juni 2015
Artikel : Peran Penting Guru
MAKNA PENTING GURU
A.
ARTI PENTING GURU
“Guru
digugu lan ditiru
”
Demikian
sekelumit bebasan jawa yang sering kita dengar dalam telinga kita sejak kecil.
Sejak kita masih duduk dalam bangku sekolah dasar mungkin sudah tidak asing
dengan penggambaran ini. Bebasan ini adalah merupakan penggambaran tentang
peran penting guru yang memiliki peran yang sangat krusial dalam rangka untuk
mengubah peradaban yang maju, stagnan atau bahkan kemunduran peradaban juga
ditentukan pula oleh peran guru ini.
Peran guru di sini sangat signifikan
dalam membimbing para siswanya sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Ali
yang dikutip oleh Nazarudin dalam bukunya Manajemen Pembelajaran
implementasi Konsep, Karakteristik dan metodologi pendidikan Agama Islam di
sekolah umum, mengungkapkan bahwa guru pemegang peranan sentral dalam
proses belajar mengajar, termasuk karakteristik dan problem belajar yang mereka
hadapi.[1]
Hal ini dikarenakan orang yang yang paling sering berinteraksi dalam proses
pembelajaran adalah guru, sehingga ditangan gurulah letak keberhasilan atau
kegagalan dalam proses belajar mengajar di kelas.
Peran utama guru dalam pembelajaran
yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi
proses belajar (facilitating learning). Keteraturan di sini mencakup
hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran,
seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi
peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk
dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar,
pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses
pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.
Sejalan dengan tantangan kehidupan
global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin
kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai
peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus harus lebih
dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru
di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well
informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh,
berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru
bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.[2]
Sebagai
seorang pendidik profesional,
guru hendaknya dapat menjadi
teladan bagi anak didiknya. Dalam
menjaga hubungan dengan
peserta didik, seorang
guru mempunyai prinsip membimbing peserta
didik, bukan hanya mengajar atau
mendidik saja. Sehingga dengan
prinsip membimbing peserta didik maka anak akan merasa nyaman dan proses
belajar mengajar dapat berjalan lancar.
Guru seharusnya menyadari bahwa mengajar
merupakan suatu pekerjaan yang tidak sederhana dan mudah. Sebaliknya mengajar
sifatnya sangat komplek karena melibatkan aspek pedagogis, psikologis dan
didaktif secara bersamaan. Aspek pedagogis menunjuk pada kenyataan bahwa
mengajar di sekolah berlangsung dalam suatu lingkungan pendidikan., oleh karena
itu, guru harus mendampingi para siswanya menuju kesuksesan belajar atau
kedewasaan.
B. PERAN PENTING GURU DALAM PROSES
PEMBELAJARAN
Guru adalah penentu sebuah sketsa
pendidikan. Dalam konteks ini bisa dijelaskan bahwa, guru memiliki sebuah peran
pennting dalam menumbuhkan peradaban maju atau tidaknya bangsa. Arah pendidikan
mahu dibawa kemana adalah tugas guru untuk menjawab itu. Walupun grand besarnya
adalah pemerintah selaku otoritatif dari pembuat kebijakan pendidikan melaui sistem
pelaksanaan pendidikan. Kurikulum menjadi standarisasi pelaksanaan pendidikan
yang digunakan untuk mencari format ideal pendidikan.
Seorang guru harus dibekali dengan
kemampuan/kompetensi yang memadahi untuk bisa mengaktualisasikan dirinya dalam
rangka membentuk watak bangsa yang baik. Guru harus berperan sebagai bapak juga
berperan sebagai ibu. Dalam artian guru harus bisa memimpin / mengelola kelas
dengan baik, selain itu guru harus memiliki sifat lemah lembut.
Guru harus memiliki kompetensi dalam
bidangnya mengajar, kompetensi menyangkut berbagai hal untuk lebih baik.
Kompetensi bukan hanya diwujudkan dengan ijzah di sekolah yang favorit akan
tetapi kompetensi diwujudkan dalam keseriusan dan kepiawaian dalam membawakan
materi dan mengelola kelas. Ini yang mungkin sampai sekarang guru-guru kita
(termasuk kita) untuk lebih serius menggapai mimpi.
Tugas utama guru dalam pembelajaran ini
sangat penting dikarenakan guru merupakan penentu keberhasilan atau kegagalan
pembelajaran, tetapi posisi dan peranannya sangat penting. Oleh karena itu,
untuk mewujudkan kesuksesan dalam proses pembelajaaran, guru harus melengkapi
dirinya dengan berbagai aspek yang mendukung ke arah keberhasilan. Seorang guru
yang hanya mengajar berdasarkan tradisi atau kebiasaan yang telah dijalani
selama bertahun-tahun, tanpa mempertimbangkan berbagai ketrampilan teoritis
maupun teknis yang mendukung profesionalitasnya, tentu akan memberikan hasil
pembelajaran yang kurang sesuai dengan harapan. Sebaliknya, guru yang
terus-menerus berusaha meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya, tentu akan
menghasilkan proses yang jauh lebih baik.[3]
Dalam proses pembelajaran guru merupakan
seorang yang harus siap untuk bisa menyalurkan keilmuannya kepada siswa. Guru
dalam hal ini dia (guru) sebagai objek percontohan siswa. Guru yang tidak siap
dengan materi dan ketika berhadapan dengan muridnya pastinya akan diledek
bahkan bisa jadi bahan ejekan
muridnya.
Tugas utama
guru dalam proses pembelajaran ini sangat penting dikarenakan guru merupakan penentu
keberhasilan atau kegagalan pembelajaran, tetapi posisi dan peranannya sangat
penting. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kesuksesan dalam proses
pembelajaaran, guru harus melengkapi dirinya dengan berbagai aspek yang mendukung
ke arah keberhasilan. Seorang guru yang hanya mengajar berdasarkan tradisi atau
kebiasaan yang telah dijalani selama bertahun-tahun, tanpa mempertimbangkan
berbagai ketrampilan teoritis maupun teknis yang mendukung profesionalitasnya,
tentu akan memberikan hasil pembelajaran yang kurang sesuai dengan harapan.
Sebaliknya, guru yang terus-menerus berusaha meningkatkan kapasitas dan
kapabilitasnya, tentu akan menghasilkan proses yang jauh lebih baik.[4]
Untuk itu, profesionalisme
guru saat ini sangat ditekankan untuk menjadi syarat guru bisa menjadi tolok
ukur peningkatan kualitas pendidikan. Dalam konteks ini memang bagi guru baik
setingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi guru harus menyiapkan perangkat
mengajar dan harus siap sedia setiap bertatap muka dengan para siswanya. Guru
haruss membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Proggram tahunan
(prota), program semester (prommes), standar kompetensi, sampai dengan alat
peraga dalam mengajar guru disyaratkan untuk memiliki skill tersebut.
Kompetensi guru menjadi sebuah taruhan
untuk perubahan peradaban ke depan. Guru dituntut semaksimal mungkin untuk
mengabdikan diri sepenuhnya di lembaga pendidikan dimana dia berada. Karena
itu, guru saat ini sudah mulai
berangsur-angsur mendapatkan haknya karena beban kerjasnya dituntut maksimal. Terbukti dengan adanya proses sertifikasi dan tunjangan
fungsional bagi guru non PNS paling tidak regulasi ini memberikan pencerahan
kepada guru untuk bisa lebih baik dari sebelumnya. Selain itu, sarana fisik
lembaga sudah cukup baik dan hampir merata kecuali yang ada di daerah terluar
yang tentunya kita kecualikan saat ini. Semoga dengan adanya regulasi yang
jelas terhadap guru dan lembaga pendidikan ini, kedepan pendidikan Indonesia
bisa lebih baik dari saat ini.
[1] Nazarudin, Manajemen Pembelajaran implementasi Konsep,
Karakteristik dan metodologi pendidikan Agama Islam disekolah umum, (Yogyakarta
: Teras, 2007), 160.
[3] Naim, Materi Penyusunan,.1.
[4] Ngainun Naim dan Achmad Patoni, Materi Penyusunan Desain
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (MPDP PAI), (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2007), 1
Langganan:
Postingan (Atom)